Sipil Memaksa Militer Menjadi Pemimpin

Posted by ReTRo on Friday, November 2, 2012

http://klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2012/11/02/110271/250x125/sipil-memaksa-militer-menjadi-pemimpin-wawancara-connie-r-bakrie-3.jpgSEJAK Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional dimasukkan dalam program legislasi nasioanal di DPR. Banyak kekhawatiran muncul diungkapkan dalam bentuk protes dari berbagai elemen masyarakat. Mereka cemas beleid itu bakal membungkam kebebasan berpendapat dan pers.

Connie Rahakundini Bakrie, analis pertahanan kemanan, mengungkapkan ketakutan itu tidak hanya muncul di masyarakat, namun juga Kepolisian Republik Indonesia. Polisi tidak ingin peran mereka menjaga keamanan dikurangi.

Berikut petikan wawancara dengan Connie saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com saat di salah satu kafe di bilangan Mal Pondok Indah 2, Jakarta Selatan, Kamis (1/11) siang. 

Apa jaminan kebebasaan berpendapat dan pers tidak dibungkam jika undang-undang itu disahkan?

Begini, ada hal-hal seperti ungkapan Inggris bilang kepenasaran kita itu seperti seekor kucing. Jadi kadang kita penasaran dan ingin tahu segala sesuatu, tapi akhirnya memporak-porandakkan. Ada hal-hal lebih baik kita tidak tahu karena memang ada yang lebih tahu.

Sekarang secanggih-canggihnya sebagai analis pertahanan keamanan atau kecanggihan pers kita melebihi intelijen, ada kode etik di mana rahasia sangat tergantung pada kestabilan negara untuk pertahanan dan keamanan, tidak boleh diungkap. Nah pers malah mengungkap. Di Israel persnya tidak mengungkap, tidak ada debat berapa anggaran pertahanan sekian. Kadang pers kita mengungkap kenapa angkatan laut lebih sedikit dari udara atau lebih dari darat. Di sana tidak boleh.

Bukankah dengan pemberitaan itu akan lebih bagus atau lebih baik?

Betul, ini hanya contoh masalah kecil saja. Yang mau tanya kenapa bilangnya lebih bagus atau lebih baik, kenapa cara berpikirnya tidak dibalik. Kenapa kalau untuk dana pemilu Rp 7 triliun per tahun dan tidak jelas pertangungjawabannya, kita hanya diam-diam saja duduk manis. 

Kenapa pembanding Anda dana pertahanan dengan dana pemilu?

Angka, angka. Masalah pertahanan kita soal anggaran. Makanya saya bicara angka sekarang. Itulah kenapa perbandingannya adalah itu, karena anggaran pertahanan kita sudah berpuluh-puluh tahun 0,65 dari Produk Domestik Bruto (GDP). Tetangga kita sudah 3-5 persen. Hari ini mereka sudah 7,7 persen, kita 1,2 persen. Kalau kita mau mengejar berarti dikali tiga, sekitar Rp 21 triliun. Ayo bilang uangnya tidak ada. Kenapa kalau pemilu ada terus dan tidak pernah ada wartawan bertanya duit pemilu dari mana. Jumlahnya Rp 35 triliun dan tidak ada yang tanya. Pers selalu tendensinya melihat militer atau aktor-aktor pertahanan keamanan itu negatif. 

Kalau itu ada dasarnya, bagaimana?

Makanya saya mau luruskan. Coba bandingkan satu tentara Singapura menjaga 89 penduduk. Maka di Singapura tentaranya tidak usah kelihatan, aman semua. Kalau Indonesia satu tentaranya menjaga 668 penduduk, mampus saja kalau begitu. Terus tanpa alat utama sistem senjata lengkap dalam arti proteksi dan semua-semuanya sesuai dan tanpa undang-undang HAM tentara yang lengkap.

Undang-undang di pulau terluar itu baru ada beberapa tahun ini. Makanya ada anggaran khusus untuk tentara di pulau terluar itu. 

Bagaimana dengan para jenderal kaya raya sedangkan banyak tentara yang hidupnya miskin?

Saya tidak menutup kemungkinan dan tidak menutup diri banyak jenderal gila untuk memperkaya diri. Jangan jadikan kebencian terhadap jendral tertentu atau kesalahannya untuk menyimpulkan secara keseluruhan.

Jangan lupa, kenapa purnawirawan jenderal banyak dipakai oleh perusahaan bahkan politikus sipil juga menggunakan itu lewat partai. Kenapa ujung-ujungnya Pak Wiranto, Prabowo, Sutiyoso, atau calon presiden yang digadang-gadang ke depan ini, seperti Pak Widodo atau Joko Suyanto. Kenapa? Karena cara kita memilih pimpinan elite itu sudah betul? Sehingga saat cari pimpinan itu tetap saja mencari pemimpin partai sudah berpengalaman dan ini bahasa sebelnya pers, seolah-olah TNI balik ke politik.

Sistem sipil itu yang menarik-narik tentara. Saya tidak menyebut orang lain, suami saya tentara. Ditawarin untuk dicalonkan jadi gubernur sekitar lima kali tidak mau. Tapi berapa banyak orang mau seperti dia? Saya tidak bisa menyalahkan kalau Pak Wiranto, Pak Prabowo maju, dia merasa dengan berada di situ akan bisa berbuat. Tapi jangan dibalik, seolah-olah tentara balik ke ranah sipil. Sipilnya tidak punya sistem benar tentang pemimpin, gimana mau benar.

Kita ngomong PDIP, kita lihat di daerah siapa jadi pemimpinnya. Kalau kita mau jujur siapa saja pejabat sipilnya di daerah, kita jujur-jujuran saja. Siapa? Preman juga ada. Sekarang artis dengan mata biru bisa jadi anggota DPR. Ini dengan segala hormat, mereka juga banyak yang bagus. Tetapi apakah itu betul sistem rekrutmen?

Makanya saat ramai, pecah kejadian pembunuhan di Lampung kemarin, pembunuhan 200-an orang kok bupatinya malah terima lencana di Jatinangor. Di mana akal sehatnya Sama dengan SBY sekarang. Papua itu bergolak, mereka menunggu janji SBY dan akan datang ke sana, berbeda kalau tidak berjanji. Ibu saya wartawan dan meliput di Papua. Dia bilang rakyat Papua itu marah saat SBY tidak jadi datang, tapi pergi ke London. Kenapa? Apa urgensinya untuk urusan kenegaraan? Orang kan melihatnya dari situ. 

Pemaparan Anda meyakinkan, apa ini bisa berlaku untuk semua orang tentang tentara?

Mari segala kekhawatiran kita coba kondisikan. Contoh pasukan perdamaian. Kenapa kita bangga sekali tentara kita jadi pasukan perdamaian. Saya sudah bilang tentara Indonesia ini hanya segitu-gitu saja, terus kok bisa ada misi perdamaian. Oke, karena Indonesia sudah banyak terlibat sebagai pasukan perdamaian sejak Garuda satu, dua, dan segala macamnya.

Tapi saya melihat kita ikut mengamankan daerah jauh, padahal untuk menjaga daerah kita sendiri masih kurang orang, kurang peralatan, buat saya itu agak aneh kita bangga pada bagian itu. Misi internasional itu betul sebagai misi menegakkan perdamaian, itu ada di undang-undang dasar tentang perdamaian dunia. Ini seperti rukun islam dan rukun iman dalam Islam, dan Pancasila ada urutannya, tidak boleh kacau balau. Saya melihat asas prioritasnya belum jelas. Tanpa panduan ini, kita makin hilang.

Jangan salah, kekhawatiran saya cuma satu, proyeksi China pada 2020 jadi green water navy, 2050 jadi blue water navy. Itu membuat Jepang, Amerika, dan India memblok Indonesia. Bayangkan untuk menghadapi China di Laut China Selatan, mereka bikin blok Jepang, India, dan Amerika Serikat atau JIUS. Jepang itu kaki tangan Amerika Serikat. Kita tidak bisa, kemana kedaulatan kita, ini berarti mereka bisa bebas masuk di wilayah kita lewat darat, laut, dan udara.

(Green water navy adalah kekuatan angkatan laut mampu menjaga kedaulatan, sedangkan blue water navy memiliki armada penghancur).

Yang lebih gila, kita akan bilang, "Ini wilayah kedaulatan Indonesia, kenapa elu tidak mengajak Indonesia masuk dan ikut serta?" Misalnya blok pertahanan itu akan jadi Jepang, Indonesia, India, dan Amerika Serikat (JIIUS). Tahu jawabanya? Bisa ngapain tentara kita? India itu tentaranya nomor lima di dunia, ini menyedihkan. 

Terus apa poin terpenting dalam RUU ini?

Kalau undang-undang keamanan nasional, kita ada Kementerian Pertahanan, membawahi TNI. Terus kita ada Kementerian Dalam Negeri, harusnya membawahi Kepolisian. Sekarang tidak. Dua kementerian itu laporan ke presiden, polisi juga laporan ke presiden. Itu saja sudah jomplang, bagaimana bisa jalan. 

Apa RUU ini juga bentuk persaingan Polri dan TNI?

Sudah saya bilang tadi. Salah satu yang tidak berkenan dengan undang-undang ini adalah polisi. Mereka tidak akan pernah mau di bawah Kementerian Dalam Negeri. Saya bilang polisi kita mau seperti apa, mau kita biarkan jadi seperti sekarang ini? Salah satu untuk mengontrol mereka itu dengan cara itu. Polisi dan TNI itu berbeda. TNI tidak boleh menerima apapun dan dana dari siapa pun, kecuali dari negara. Polisi itu boleh.(mdk/fas)
© Merdeka

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment