Perang Kemerdekaan II : Penyerbuan ke Yogyakarta

Posted by ReTRo on Friday, November 16, 2012

Oleh : Letjen TNI (Purn) Tjokropranolo

Pak Dirman Ada di Tengah-Tengah Kita
Pak Dirman Mimpin Kita !
Hidup Pak Dirman
 

Penyerbuan Belanda secara mendadak atas Ibukota RI di Yogyakarta dengan harapan bahwa pemerintah RI akan dapat ditaklukan secepatnya, ternyata meleset. Pasukan Belanda dengan perangkat mesin perangnya yang mutakhir bergerak dengan menerapkan taktik blitzkrieg ala Nazi Hitler sewaktu Jerman Raya menyerbu negeri Belanda tahun 1940. Mereka tidak menyadari dan tidak membaca pertanda zaman bahwa pada jiwa dan semangat bangsa Indonesia waktu itu sudah terjadi perubahan besar sejak Proklamasi Kemerdekaan di tahun 1945.

Demikian pula timbulnya rasa dan kepercayaan atas kemampuan bangsa Indonesia sendiri, sebagai akibat dari apa yang telah diperlihatkan oleh Jepang pada teater Asia dan Pasifik, yaitu penaklukan atas penjajah bangsa Eropa (Inggris, Belanda, Prancis) dan Amerika. Bersamaan waktu itu pula di Kaliurang, dekat Kota Yogyakarta, tengah berlangsung perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan KTN (Komisi Tiga Negara) selaku wakil Dewan Keamanan PBB. Tentu saja para diplomat kita termasuk Bung Hatta, selaku Perdana Menteri RI yang mengikuti perundingan itu amat terkejut atas peristiwa penyerbuan Belanda tersebut.

Sehari sebelum Belanda melancarkan surprise attack atau serangan mendadak, Wakil II Kasap Kolonel T.B. Simatupang pada pagi harinya, tanggal 18 Desember 1948, telah datang untuk menghadap dan melaporkan kepada Pak Dirman di rumahnya, mengenai jalannya dan hasil perundingan di Kaliurang yang telah ia hadiri selaku wakil dari Angkatan Perang dalam Delegasi RI, bahwa perundingan tersebut berjalan sangat seret tetapi diharapkan masih tetap berlanjut.

Pengalaman dari perundingan Linggarjati dan Renville menunjukan pihak Belanda selalu mengingkari isi seluruh perjanjian dan kemudian mengadakan penyerbuan ke daerah RI. Tata cara pihak Belanda untuk memacetkan perundingan merupakan isyarat yang jelas supaya pihak Indonesia tetap waspada terhadap gelagat Belanda. Untuk kepentingan siasat dan menjaga kesehatannya, sebenarnya Pak Dirman sudah diminta oleh beberapa stafnya agar segera meninggalkan Yogya, dan untuk beliau sudah disediakan suatu tempat yang dipandang aman apabila sewaktu-waktu Belanda menyerang.

Tetapi beliau tetap menolaknya, bahkan mengatakan bahwa beliau hanya akan meninggalkan kota jika pasukan pertama Belanda masuk kota. Beliau adalah seorang yang mempunyai rasa percaya akan diri sendiri, selalu mempunyai perhitungan yang unik, keberanian yang luar biasa, dan memiliki ketenangan didalam mengambil langkah-langkah tindakannya.

Meskipun Panglima Besar Soedirman masih dalam keadaan sakit dan oleh dokter belum boleh bangun dari tempat tidurnya, pada waktu penyerbuan Belanda tanggal 19 Desember 1948 itu, syukur Alhamdulillah Panglima Besar sehari sebelumnya mengumumkan bahwa beliau mengambil alih dan memegang kembali tampuk pimpinan Angkatan Perang RI (APRI), sehingga seluruh kesatuan komando dan mental para prajurit TNI bagaikan bangkit kembali bersamaan dengan pancaran sinar matahari yang amat cerah pada pagi hari itu. Situasi Indonesia pun telah berubah menjadi begitu gawat sebagai akibat tindakan serangan Belanda yang dipimpin oleh Bell-Spoor dengan sistem doorstoot atau serbuan menusuk ke Yogya itu. Serangan itu jelas sekali mendapat restu dari pemerintah Belanda, walaupun harus melalui serangkaian protes dari kelompok PvdA (Partij van de Arbeid = Partai Buruh) di Parlemen Belanda yang bersikeras dan mengusulkan agar rencana aksi militer tersebut sebaiknya ditunda atau dibatalkan saja. Namun pihak KVP (Partai Katolik) di bawah pimpinan Romme tetap mendukung suatu upaya penyerangan tuntas dan final terhadap Indonesia. Akhir dari serangan tersebut telah membawa kabinet Belanda ke ambang situasi krisis politik.

Serbuan itu mula-mula didahului dengan suatu manuver Angkatan Udara, dilanjutkan dengan pemboman dan tembakan gencar dari pesawat udara Belanda yang langsung menyerang Pangkalan Udara Maguwo (sekarang Adisucipto). Setelah mereka merasa berhasil melumpuhkan Maguwo, barulah dilakukan penerjunan dari udara oleh sejumlah pasukan para militer elit Belanda sekitar pukul 05.45 BBWI. Pemboman dan penembakan mitraliur dari pesawat-pesawat udara Belanda serta penerjunan pasukan paranya itu, berlangsung tanpa perlawanan yang berarti dari pihak tentara Indonesia karena selain belum siaga, juga karena TNI belum memiliki peralatan anti serangan udara yang memadai. Bahkan banyak juga dari mereka yang mengira bahwa peristiwa hingar bingar itu berasal dari pihak TNI sendiri yang sedang mengadakan latihan perang-perangan di sekitar Maguwo. Sungguh tragis!

Sesuai dengan pengumuman tentang akan adanya rencana latihan perang-perangan pada hari-hari itu, ternyata Belanda memanfaatkan rencana TNI tersebut dan betul-betul TNI diserang habis-habisan oleh musuh. Perlawanan hanya dapat dilakukan oleh sedikit dari pasukan yang berada di lapangan udara tersebut, khususnya TNI AU, yang telah terjebak dalam serbuan Belanda.

Pasukan yang menjaga di pangkalan udara itu telah dibuat kocar-kacir, sehingga perlawanan seporadis yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan kecil pasukan dan Laskar bersenjata yang ada, hanya berhasil menghambat pasukan Belanda yang akan bergerak menuju ke jantung Ibu kota RI Yogyakarta. Setelah penerjunan pasukan paranya di Maguwo, untuk sementara mereka berkumpul di situ untuk mengkonsolidasikan pasukannya dan menunggu pasukan-pasukan Belanda lainnya, yang bergerak lewat darat dari jurusan Barat dan Timur kota Yogya. Pasukan Belanda juga membom dan menembaki benteng Vredenburg, yang berada di depan Gedung Agung (Istana Presiden) yang dipakai sebagai kementerian pertahanan RI. Pasukan Belanda pun sebenarnya merasa khawatir dan memperkirakan akan mendapatkan perlawanan yang hebat di Yogya. Dan bukan mustahil mereka akan berhadapan pula dengan perlawanan dari sejumlah snipers (penembak tersembunyi) yang ditempatkan oleh TNI di dalam kota Yogya. Oleh karena kekhawatiran itulah pasukan Belanda yang telah mendarat di Maguwo, sekitar pukul 06.00 BBWI, baru berusaha memasuki kota dan mencapai Gedung Agung sekitar pukul 14.00 BBWI.

Kurang adanya perlawanan yang berarti terhadap pasukan Belanda itu karena kebetulan sekali pada hari-hari itu sebagian besar pasukan TNI berada di luar kota dan sedang bertugas, antara lain : melakukan pembersihan di kantong-kantong wilayah eks PKI, menjaga garis demarkasi pertahanan Indonesia-Belanda sesuai persetujuan Renville, latihan perang-perangan “atas serbuan ke Yogya” yang telah di umumkan sebelumnya, berlangsungnya kesibukan reorganisasi di komando Yogya (KMK) yang baru saja dimulai, dan juga berbagai kesibukan puncak lainnya seperti pertahanan linier ke Gerilya dan Wingate pasukan Siliwangi dari daerah Jawa Tengah ke Jawa Barat. Bahkan sebagian dari Batalyon Rukman, yaitu Divisi Siliwangi, sudah berangkat ke daerah Cirebon. Sedang Kepala Negara Bung Karno juga tengah melakukan persiapan terakhir untuk kunjungan kenegaraan ke New Delhi (India).

Banyak hal yang terjadi di antara waktu pasukan Para Belanda terjun di Maguwo pada pagi hari, dan sewaktu mereka tiba pada sore harinya di Gedung Agung, tempat kediaman/kantor Presiden RI. Menjelang serbuan mendadak Belanda itu, sebagian pasukan mobil PT/CPM yang saya pimpin baru saja semalam suntuk selesai menjalankan tugas membersihkan sisa-sisa kekuatan PKI di daerah Yogya. Kabarnya, sisa-sisa komunis ini akan mengadakan aksi pemberontakan ulangan. Informasi itu diperoleh dari Kepala Polisi Yogya. Operasi itu dipimpin Letkol Mokoginta yang pada waktu itu menjabat sebagai Panglima PT/CPM Indonesia. Sekitar pukul 06.00 BBWI pada tanggal 19 Desember 1945 itu, saya yang sedang menjalankan tugas semalam suntuk dan memegang pimpinan Kompi “T” (Kie Tjokropranolo) dan sebagian pasukan mobil Yon PT/CPM, telah menerima informasi atas gerakan pasukan-pasukan militer asing di Maguwo dan mengetahui dengan pasti adanya penerjunan pasukan Belanda di Maguwo.

Oleh karena itu saya ambil kebijaksanaan melepaskan semua tahanan PKI yang waktu itu terkena tindakan pembersihan, agar dapat lebih memusatkan diri pada tugas utama saya. Kemudian secepatnya saya mengadakan konsolidasi pasukan PT/CPM yang saya pimpin, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang segera dapat terjadi, karena pasukan Belanda pastilah akan bergerak menuju jantung kota Yogya, lewat Pakualaman, ke kediaman Pak Dirman dan menahan Panglima Besar yang sedang sakit keras di Wirogunan.

Karena situasi sudah semakin gawatnya, saya mengambil langkah-langkah yang cepat sebagai berikut : Pertama, atas permintaan Mayor Sakri Soenarto Ko Bat PT/CPM yang baru kembali dari tahanan PKI, agar saya memeriksa kesiagaan pasukan pengawal Presiden RI dan Wakil Presiden yang tugas pengawalannya akan diserahkan dan dilaksankan oleh Kie Soesatio. Mayor Sakri Soenarto sedang mengadakan konsolidasi pasukan-pasukan PT/CPM lainnya. Kedua, saya harus meneliti kelengkapan dan kesiagaan pasukan pengawal Panglima Besar yang ditugaskan kepada Pleton Djoemadi, dengan kekuatan personelnya yang terdiri dari 80 orang prajurit dari Kie “T”. Pasukan-pasukan lain dari Kie “T” dipersiapkan menuju ke Yogya Utara, daerah Kaliurang, di kaki gunung Merapi, yaitu tempat basis gerilya yang telah ditetapkan.

Mobil Batalyon yang dipimpin oleh Sakri Soenarto yaitu mobil Yon “A”, mula-mula bergerak ke arah Selatan Yogya, kemudian berpindah tempat ke daerah Kaliurang, tempat logistik Kie “T” yang telah dipersiapkan sejak lama sebagai basis utama untuk berperang secara gerilya. Sesudah memberikan petunjuk-petunjuk itu kepada Djoemadi, saya bermaksud akan membantu pasukan Infanteri yang ada di kota guna mencegah pasukan Belanda yang bergerak memasuki Yogya, lewat Pakualaman. Hanya dari arah inilah pasukan Belanda mungkin berhasil mencapai ke arah kediaman Pak Dirman, dan selanjutnya akan dapat menerobos terus ke Gedung Agung, yaitu tempat kediaman resmi Presiden RI. Akan tetapi karena tidak ada pasukan Infanteri kita yang berada di sekitar daerah itu dan yang ada adalah pasukan saya yang tengah menjaga keamanan di rumah Pak Dirman, dan selanjutnya akan dapat menerobos terus ke Gedung Agung, yaitu tempat kediaman resmi Presiden RI. Akan tetapi karena tidak ada pasukan infanteri kita yang berada di sekitar daerah itu dan yang ada adalah pasukan saya yang tengah menjaga keamanan di rumah Pak Dirman, saya bertekad dengan pasukan yang ada untuk sebisanya mempertahankan daerah sekitar Pakualaman, sampai waktunya Pak Dirman menetapkan sendiri kapan keberangkatan ke luar kota akan dilaksanakan, yaitu berangkat menuju Jawa Timur.

Untuk itu saya tempatkan mitraliur-mitraliur anti anti serangan udara dan darat di halaman depan Puri Pakualaman. Atas permintaan Sri Pakualam pribadi untuk segera menyingkirkan semua persenjataan artileri dari tempat itu, saya tidak bisa berbuat lain, kecuali harus memindahkan peralatan tersebut ke lokasi yang lain. Belakangan barulah saya menyadari bahwa permintaan itu bertujuan agar pasukan Belanda tidak menjatuhkan bom atau menembaki Puri Pakualaman. Dengan demikian, Puri Pakualaman terhindar dari kehancuran dan tetap utuh.

Istana adalah salah satu dari “tetenger” budaya Bangsa Indonesia. Berdasarkan pertimbangan itu, penjagaan saya pusatkan di sekitar rumah kediaman Pak Dirman yaitu sebuah lokasi yang menghadap ke arah jurusan jalan Maguwo.

Mendengar bahwa saya sudah berada di situ, Pak Dirman memerintahkan salah seorang yang kebetulan berada di kamarnya untuk memanggil “Nolly” (panggilan akrab beliau dan keluarga terhadap saya) supaya segera datang dan menghadap. Ketika saya masuk kamar Pak Dirman, saya temui beliau masih terbaring di tempat tidurnya. Setelah saya memberi hormat sambil mengucapkan “siap”, Pak Dirman memerintahkan kepada saya agar menyiapkan kendaraan dan para pengawal untuk pergi ke Gedung Agung.

Dalam keadaan fisik yang masih lemah karena baru saja menjalani operasi paru-paru, beliau memaksakan diri untuk pergi ke Gedung Agung guna menemui Presiden Soekarno. Tanpa pikir panjang, saya menyiapkan sebuah mobil sedan dan sebuah kendaraan pick-up untuk membawa beliau dan para pengawalnya. Maksud Pak Dirman menemui Presiden ialah untuk mendapatkan keputusan-keputusan berkenaan dengan situasi terakhir yang sudah sangat kritis itu. Kapten Soepardjo Rustam yang diutus oleh Pak Dirman ke Kepresidenan, setelah lama ditunggu-tunggu ternyata belum juga kembali, sementara Pak Dirman sudah tidak sabar untuk menunggu lebih lama lagi. Oleh karena itu ia merasa perlu segera pergi menemui Presiden di Gedung Agung. Ibu Soedirman dihadapan dokter pribadi, yaitu Mayor Dr. Soewondo dan saya, berusaha mencegah Pak Dirman untuk berangkat ke Gedung Agung dan menyarankan agar bersabar dulu menunggu datangnya Pak Pardjo, tetapi tampaknya Pak Dirman sudah tidak sabar dan memutuskan untuk pergi sendiri. Panglima mencium sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di Istana. Nalurinya mulai bekerja dan ada sesuatu hal penting yang meresahkan pikirannya.

Beliau, seperti menerima kekuatan gaib, bangun dari tempat tidurnya, perlahan-lahan berdiri dan dengan hanya mengenakan pakaian piama ditutupi mantel tebal berwarna coklat, mulai berjalan meskipun harus dipapah dan dibantu oleh dokter Soewondo dan saya, menuju kedalam mobil yang sudah saya siapkan di depan rumah.

Dalam perjalanan itu dokter Wondo duduk di belakang sambil mendampingi Pak Dirman, sedang saya duduk di samping supir dengan perasaan prihatin dan was-was. Atas terjadinya agresi pihak militer Belanda yang untuk kedua kalinya ini Jenderal Soedirman kemudian mengeluarkan sebuah perintah, yang isinya sebagai berikut :
Perintah Kilat No. 1/PB/D/48
1. Kita telah diserang
2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan Lapangan Terbang Maguwo
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda

Dikeluarkan di : Jakarta
Tanggal : 19 Des 1948
Jam : 08.00

Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia
Letnan Jenderal Soedirman
Setelah perintah kilat ini dikeluarkan, dengan sendirinya strategi kita adalah meninggalkan penerapan sistem pertahanan Linier dan beralih kepada penerapan strategi perang geriliya. Dengan kata lain kota Yogya tidak akan bisa pertahankan dengan pasukan besar secara linier, tetapi akan beralih ke perang geriliya, berperang dan bertahan di desa-desa, gunung-gunung dan hutan belantara. Dengan pasukan-pasukan kecil di luar kota, dan terus-menerus tanpa mengenal waktu dan lelah, kita menyerang pasukan-pasukan Belanda dimana saja mereka berada, sesuai dengan Surat Perintah yang dikeluarkan sebelumnya yaitu Perintah Siasat No. 1 Mei ’48. Strategi inilah yang ternyata dikemudian hari dapat mengalahkan strategi pihak pemerintah Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Belanda dengan strategi TNI ini tidak dapat menghancurkan TNI yang didukung serta dilindungi oleh rakyatnya yang ingin merdeka.

Memang mereka dapat memenangkan suatu pertempuran seperti halnya pertempuran di Yogya. Namun secara strategis dalam jangka panjang, mereka akan kalah, tinggal masalah waktu saja. Mereka tidak akan bertahan dalam waktu lama dan akan segera jera karena tidak dapat menghancurkan TNI, bahkan TNI sebaliknya dapat menyusup ke daerah-daerah yang sudah diduduki Belanda.

Pasukan-pasukan dari Divisi ke Jawa Barat, Divisi Brawijaya ke Ujung Timur Jawa-Surabaya dan Malang, Divisi Diponegoro ke Semarang, Banyumas, Pekalongan dan Pati.

Di Sumatera, TNI bergerak masuk ke hutan-hutan. Belanda akan jera karena biaya perang mereka semakin lama semakin membesar dan mahal. Juga jera karena moril tentara mereka makin lama akan merosot karena jauh dari negaranya serta memerlukan dana/logistik yang besar dan cepat, tetapi juga menuntut loyalitas para prajurit mereka di dalam melakukan perang yang berkepanjangan. Selain itu pula mereka tidak habis-habisnya diganggu serta diserang terus-menerus oleh TNI, yang tiba-tiba menyusup dan datang dari desa-desa, gunung-gunung, dan hutan-hutan.

Perintah Kilat tersebut ditulis tangan sendiri oleh Pak Dirman dalam secarik kertas yang hurufnya terlihat samar-samar, tetapi dapat terbaca dengan jelas oleh kapten Pardjo (ajudan Pak Dirman). Kemudian teks perintah tersebut diberikan kepada Vaandrig Kadet Utoyo Kolopaking (sekarang dosen pada Fakultas Hukum UI di Jakarta), agar ia segera meneruskannya lewat telepon ke RRI Yogya dan meminta agar segera mungkin teks tersebut dapat disiarkan. Isi perintah kilat ini diumumkan, sesuai penjelasan dari Kol. Nasution dalam rapat sewaktu Perintah Siasat No. 1 Mei ’48 ditandatangani oleh Pak Dirman, maka bagi para komandan kesatuan masing-masing dibenarkan untuk mengambil inisiatif dan mengubah taktik perlawanan dari linier atau konvensional. Desa-desa, hutan-hutan dan gunung-gunung dijadikan terugval basis, yaitu tempat berlindung, dan dari tempat ini pula pasukan TNI mengorganisir penyerangan atau penghadangan terhadap musuh. Pak Dirman di dalam pidato-pidatonya, selalu mengungkapkan bahwa beruntung Allah SWT telah memberikan kepada kita gunung-gunung, lembah-lembah, hutan-hutan, sungai-sungai dan kekayaan alam lainnya yang memungkinkan kita bisa bertahan melakukan perang gerilya melawan musuh yang alat persenjataannya jauh lebih lengkap, dengan jiwa dan semangat perjuangan yang lebih teguh daripada lawan. Dalam salah satu pidato sebelum tanggal 19 Desember 1948 Pak Dirman mengatakan :
…..“Bukan kemungkinan lagi, tapi hal yang nyata Belanda Menjalankan Plan B” .

1. Percaya kepada diri sendiri, jangan hendaknya menantikan pertolongan dan bantuan dari luar negeri.
2. Teruskan perjuangan sekarang ini, hendaknya jangan ada di antara kita yang kandas di tengah jalan.
3. Pertahankan dengan segenap tenaga pekarangan dan rumah kita. Rebut kembali apa-apa yang sudah di tangan musuh.
4. Jangan ada di antara kita yang mempunyai sifat menyerah, menyerah berarti berkhianat terhadap saudara dan kawan kita yang dengan ikhlas sudah mengorbankan jiwanya guna kepentingan Tanah Air kita.
5. Tunduk lahir dan batin kepada disiplin Tentara …”

Sebelum Belanda menyerang, Pak Dirman pun telah berpidato dan memberikan petunjuk-petunjuk mengenai siasat dan taktik perang gerilya yang untungnya karena selalu dianggap remeh, kurang diperhatikan Belanda, yaitu :

Amalkanlah Janji dan Tekad
…..” Di dalam kita menghadapi ujian sejarah yang sedahsyat seperti sekarang ini, kita tidak boleh bimbang-bimbang, kita tidak boleh was-was. Kita percaya kepada kekuatan lahir dan batin kita. Dengan kekuatan yang nyata, dengan cara yang sesuai dengan kekuatan serta keadaan alam sekitar kita, kita pertahankan segala hak milik kita. Telah menjadi kodrat Ilahi, bahwa keadaan di bumi Indonesia mewujudkan suatu senjata yang amat kuat. Senjata yang amat tajam, untuk menjalankan pertahanan dan pertempuran senjata apapun juga. Percaya dan yakinlah, bahwa kita sekalian telah cukup kuat dan sanggup pula dengan alat yang ada pada kita, untuk melakukan pertempuran secara apapun juga. Dan secara besar-besaran. Hanya ada satu syarat yang perlu sekali dipenuhi oleh rakyat seluruhnya, ialah kita masing-masing harus insyaf dan ikhlas meninggalkan harta-benda kita, gedung-gedung kita dan anak-istri kita, jika setiap waktu ada perintah, untuk kepentingan Nusa, Bangsa dan Agama kita.

Nanti, nanti tentu ada perintah yang sangat pahit, perintah mana semata-mata, untuk menyempurnakan pertahanan dan siasat pertempuran kita. Jalankan perintah itu nanti dengan penuh rasa ta’at dan ikhlas hati.

Kita dasarkan perjuangan sekarang ini atas dasar kesucian. Kami yakin, bahwa Tuhan YME tidak akan melalaikan hamba-Nya yang memperjuangkan sesuatu yang adil berdasarkan atas kesucian batin. Maka saudara-saudara sekalian dan Tentara seluruhnya! Jangan khawatir, jangan berputus asa, meskipun kita sekalian menghadapi macam-macam kesukaran dan menderita segala kekurangan, karena kita Insya Allah akan menang, jika berjuang kita sungguh berdasarkan kesucian, membela kebenaran dan keadilan.

Ingatlah pada firman Tuhan dalam Qur’an surat Al-Imran, ayat 138 :
“Wa laa tahinnu wa laa tahzanmu, wa antumul a’la inkuntum mukminin (jangan kamu merasa rendah, jangan kamu merasa bersusah hati, sedang kamu sesungguhnya lebih tinggi jika kamu mukmin!).”

Janji sudah kita dengungkan, tekad sudah kita tanam. Semua ini tidak akan bermanfaat bagi Tanah air kita, apabila tekad ini tidak kita amalkan dengan amalan yang nyata.

Rakyat Indonesia dan tentara seluruhnya ….. siap!
Tunggulah satu komando …

Sebelum perintah kilat No. 1. PB/D/48, TNI sudah merencanakan dan memperhitungkan dengan kesepakatan bulat dalam sebuah rencana guna menghadapi aksi penyerbuan. Dalam rapat para Panglima yang dipimpin oleh Pak Dirman, Kol. Nasution memberikan penjelasan panjang lebar mengenai suatu perencanaan yang telah dipikirkan dan dipersiapkan sebagai suatu strategi umum TNI di dalam menghadapi kemungkinan kehadiran kembali Angkatan Perang Kerajaan Belanda. Rapat itu berhasil merampungkan suatu keputusan berupa Perintah Siasat yang ditandatangani oleh Pak Dirman dihadapan para panglima yang hadir, isinya :

Perintah Siasat No. I/Stop/48/5/48
  1. Tidak akan melakukan pertahanan yang linier.
2. Tugas memperlambat kemajuan serbuan musuh serta pengungsian total (semua pegawai dan sebagainya), serta bumi hangus total.
3. Tugas membentuk kantong-kantong di tiap onderdistrik militer yang mempunyai pemerintahan gerilya (disebut “wehrkreise”), yang totaliter dan mempunyai pusat di beberapa komplek pegunungan.
4. Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari “daerah federal” untuk “berwingate” (menyusup kembali ke daerah asalnya) dan membentuk kantong-kantong, sehingga seluruh pulau Jawa akan menjadi suatu medan perang gerilya yang besar.

Dengan dikeluarkan dan diumumkannya Perintah Kilat yang menunjuk kepada isi dari perintah Siasat tersebut di atas, maka jelas apa yang harus diperbuat oleh setiap Panglima dan Komando Daerah dan Komando Kesatuan Militer dalam aktivitasnya masing-masing di dalam melawan pasukan Belanda. Perang gerilya semacam ini sudah dijalankan di berbagai negara yang kurang unggul dalam persenjataannya didalam menghadapi lawan yang lebih adidaya, seperti halnya ketika Rusia yang persenjataannya kurang lengkap harus berperang melawan Napoleon dari Prancis, Yugoslavia-Tito melawan Jerman yang dahsyat dan modern senjatanya. Raja Etiopia melawan Italia, Cina melawan Jepang dalam Perang Dunia Kedua, dan lain-lainnya.

Pak Dirman di Gedung Agung
Perjalanan Pak Dirman yang berkendaraan mobil ke Gedung Agung, harus dilakukan dengan penuh kewaspadaan dan lebih berhati-hati, mengingat pesawat-pesawat pemburu Belanda masih terus melakukan pengintaian dan pengejaran dengan manuver-manuver terbang rendah, tepat di atas kota dan sekitarnya sehingga bisa mengawasi gerak-gerik di darat dengan lebih jelas. Sewaktu keadaan tampak membahayakan, saya perintahkan supir mobil untuk berhenti dan bersembunyi di tempat yang terlindung seperti, pohon besar atau bangunan yang tidak nampak dengan jelas dari ketinggian udara.

Pak Dirman untuk sementara, dengan hati-hati dipapah keluar kendaraan untuk berlindung di bawah pohon asem. Jarak antara pohon asem di sepanjang jalan dekat pusat pemerintahan Indonesia dengan benteng Vreddenburg yang sebelumnya sudah ditembaki pesawat-pesawat Belanda, kurang lebih 200 meter dari tempat Pak Dirman berlindung. Setelah aman dari penembakan-penembakan pesawat pemburu dan bomber Belanda atas beberapa gedung, perjalanan dilanjutkan kembali. Kelemahan TNI pada masa itu adalah tidak memiliki kekuatan udara dan alat anti serangan udara yang baik, begitu pula dengan senjata-senjata lengkung (meriam, mortir) dan kendaraan lapis baja.

Setibanya di Gedung Agung, saya melihat telah ada beberapa orang menteri dan para pemimpin penting yang sudah berada di situ, diantaranya Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Ir. Juanda, Sutan Syahrir, Dr. Asikin dan lain-lainnya. Sewaktu melihat Pak Dirman keluar dari mobilnya dan dipapah masuk ke serambi depan Gedung Agung, Dr. Asikin tampak terperanjat sekali. Seketika itu juga Dr. Asikin, yang mengenal pribadi saya dengan baik seolah-olah seperti saudara sendiri, dan yang bertanggung jawab atas operasi paru-paru Pak Dirman, menghampiri saya dan meminta supaya pak Dirman sebaiknya segera dibawa pulang saja. Ia bermaksud baik, jangan sampai Pak Dirman mengalami kejutan dan kondisi kesehatan yang akan menjadi lebih buruk lagi. Akibatnya bisa fatal karena beliau sebenarnya belum sembuh. Karena posisi saya yang terjepit atas permintaan Dr. Asikin tersebut, saya jawab : “Prof. Saya ini diperintah oleh Pak Dirman untuk membawa beliau ke Gedung Agung. Beliau ingin menerima petunjuk/perintah langsung dari Presiden sendiri mengenai kebijaksanaan yang perlu diambil sebelum pasukan Belanda masuk kota. Oleh karena itu saya mohon supaya Profesor sajalah yang menyampaikan hal itu sendiri kepada Pak Dirman,” kata saya.

Ternyata beliau pun tidak sampai hati untuk menyampaikan maksudnya kepada Pak Dirman dan bahkan cepat-cepat menyiapkan sebuah kamar yang terletak di sebelah kanan Gedung Agung dan meminta agar Pak Dirman memakai ruangan tersebut dan bisa beristirahat dulu. Walaupun beliau memakai kamar tersebut untuk sebentar beristirahat, beliau lalu duduk di ruang tamu. Panglima terlihat tenang sekali, tetapi saya merasakan kegelisahan yang meliputi pikirannya. Sidang darurat kabinet belum juga dimulai, agaknya masih harus menunggu kedatangan beberapa pejabat tinggi lainnya, antara lain Wakil Presiden yang merangkap Perdana Menteri, Bung Hatta, yang pada waktu itu masih berada di Kaliurang dan menurut keterangan sedang diupayakan untuk dijemput.

Sementara menunggu, Pak Dirman memerintahkan saya untuk segera kembali ke Wirogunan dan membakar semua dokumen rahasia yang penting dan membawa keluarga Pak Dirman ke tempat lain yang lebih aman. Dalam mengusahakan sebuah tempat untuk keluarga Pak Dirman, saya memperoleh keterangan bahwa di dalam salah satu benteng kompleks Keraton Yogyakarta, secara khusus telah disediakan tempat tinggal bagi keluarga para pemimpin kita. Ini merupakan kebijaksanaan Sri Sultan yang luar biasa beraninya untuk melindungi keluarga-keluarga yang suaminya akan berangkat dan berjuang bergerilya ke luar kota. Bantuan dan uluran tangan Sri Sultan ini dimaksudkan untuk mencegah suatu kemungkinan keluarga para pemimpin kelak akan diganggu atau diperalat pihak Belanda. Dan atas izin Sri Sultan pula, keluarga Pak Dirman segera menempati Gedung mangkubumen Jl. Polowijan (sekarang Universitas Widya Mataram) di Kabupaten Yogyakarta. Dr. Suwondo diperintahkan oleh Pak Dirman untuk meninjau dulu tempat tersebut dan melapor kembali apabila segala sesuatunya telah disiapkan dengan baik dan aman.

Sri Sultan orang yang sangat berpengaruh di Jawa Tengah, segera mengambil langkah strategis dari keputusan penting untuk mendukung perjuangan Republik Indonesia, seperti : Pertama, menyerahkan Daerah Swatantra Yogya kepada Pemerintah RI, sehingga secara yuridis beliau tidak lagi mempunyai kekuasaan adalah pengorbanan pertama yang beliau lakukan demi kesatuan dan persatuan Indonesia yang mempunyai arti teramat penting. Kedua, ketegasan sikap dan dukungan bahwa Sri Sultan yang berdiri di belakang perjuangan Pemerintah RI dalam satu pengumuman resmi, yang luar biasa dampak pengaruhnya, baik di Indonesia sendiri maupun di negeri Belanda. Yang terakhir, sebagian kekayaan kekayaan pribadi dan keraton, karena jelas sekali Pemerintah RI tidak mempunyai uang, disumbangkan kepada perjuangan melalui Bung Karno. Tanpa menghiraukan kemungkinan pembalasan pihak Belanda atas diri dan takhtanya, sewaktu Maguwo diduduki, beliau sendirilah yang berangkat dan menjemput Bung Hatta, yang tentunya bukan tanpa risiko akan menjadi sasaran empuk dari pesawat terbang pemburu. Bujukan dari pihak militer Belanda yang ingin mempengaruhi Sri Sultan supaya sudi ikut pemerintah Belanda, ditolaknya mentah-mentah.

Masih banyak lagi bantuan Sri Sultan yang tidak ternilai harganya yang diberikan kepada negara RI dan rakyat Indonesia yang sedang mengalami bencana dan ancaman kembali penjajahan Belanda. Tidaklah mudah mengadakan mobilisasi perlawanan rakyat semesta, tanpa mendapat restu dari Sri Sultan, khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang menjadi pusat pemerintahan Indonesia yang resmi waktu itu. Ketegasan sikap Sri Sultan ini sangat membingungkan dan mengecewakan pihak Belanda dalam upaya mereka melumat-tuntaskan pemerintah Soekarno-Hatta.

Pada saat Dr. Soewondo tiba kembali di Gedung Agung, pesawat terbang Belanda masih meraung-raung dan menembaki beberapa tempat di kota hingga keadaan menjadi semakin berbahaya. Pak Dirman memutuskan untuk segera meninggalkan Gedung Agung, ini terjadi sebelum sidang kabinet, karena Bung Hatta sebagai PM yang ditunggu-tunggu belum juga datang juga dari Kaliurang. Oleh karena saya sendiri tengah sibuk mengatur pasukan pengawal Presiden di Gedung Agung, maka saya tidak mengetahui apakah Pak Dirman telah bertemu atau sempat diterima oleh Bung Karno, dan telah menerima perintah atau petunjuk-petunjuk yang terakhir. Setibanya Pak Dirman di Bintaran, beliau mengatakan bahwa ia tidak mau beristirahat dan bahkan pergi ke luar untuk melihat pesawat terbang belanda yang berpesta-pora di udara dan menjatuhkan bom-bom maut mereka pada beberapa tempat di kota. Tidak lama kemudian, bekas benteng Vredenburg yang terletak di depan Geedung Agung dihantam oleh bom dan dihujani tembakan mitraliyur. Hancurlah sebagian bangunan Kementerian Pertahanan RI itu!.

Makin gencarnya serangan Belanda membuat kacau dan rasa tidak aman dimana-mana. Termasuk juga di Bintaran. Tidak mustahil pula Belanda akan secepatnya menyerang dan mengepung rumah kediaman Pak Dirman. Setelah membakar seluruh dokumen penting yang berada di rumah kediaman Panglima agar tidak jatuh ke tangan Belanda, saya diberitahu oleh salah seorang bawahan saya bahwa Belanda sudah bergerak menuju ke Yogya. Karena itu pukul 11.30 BBWI, Pak Driman beserta rombongan termasuk saya berangkat ke Kadipaten. Setibanya di sana, beliau sempat beristirahat sejenak sampai tiba-tiba pada jam 14.00 BBWI, Letnan Kolonel Abdul Latief Hendraningrat, Komandan Keamanan Kota (KKK) Yogyakarta datang dan melaporkan bahwa tentara Belanda sudah masuk ke dalam kota. Setelah menerima laporan itu, Pak Dirman memerintahkan kita supaya segera bersiap meninggalkan Kota Yogya dan menuju ke Kediri sesuai rencana. Semua anggota rombongan tahu bahwa Panglima Besar Soedirman tidak akan menyerah. Beliau berpegang teguh pada Sumpah TNI, yaitu : mempertahankan negara RI sampai titik darah penghabisan. Oleh karena itulah, sesuai dengan rencana, beliau akan memimpin sendiri dan memutuskan perlawanan dari Kota Kediri.

Rombongan harus mengambil jalan Selatan yang merupakan satu-satunya jalan yang dipandang paling aman untuk mencapai Kediri. Komandan Peleton Pengawal Pak Dirman dibawah pimpinan Letnan Djoemadi, saya perintahkan mengikuti dan membayangi gerakan Pak Dirman dengan mengambil jalan lewat Selatan menuju wilayah Jawa Timur, sekitar barat daya daerah Kediri, dengan berjalan kaki.

Ketika masih ada waktu dan kesempatan untuk berpamitan dengan seluruh keluarga, Pak Dirman meninggalkan pesan kepada Ibu Dirman supaya senantiasa berdoa bagi keselamatan negara dan bangsa, dan menjaga keluarga dengan baik. Dengan berat hati dan diliputi perasaan haru, Ibu Dirman sekeluarga harus melepas keberangkatan Pak Dirman ke luar kota, dalam keadaan kesehatan yang memperihatinkan dan tanpa membawa obat-obatan yang cukup (satu-satunya obat yang terbaik bagi kesehatan Pak Dirman pada saat itu adalah penicilin yang sukar diperoleh). Tidak ada yang dapat diperbuat! Pasrah dan mempercayakan kepada mereka yang dekat dengan beliau dan pengawal Pak Dirman, seperti Pak Pardjo (ajudan), saya (pengawal pribadi), Pak Wondo (dokter pribadi), dan prajurit lainnya. Karena pasukan darat Belanda yang datang dari arah Magelang dan Salatiga mendapat perlawanan dari pasukan TNI dengan cara memutuskan jembatan-jembatan dan melakukan perlawanan kecil yang ternyata berhasil memperlamban gerak maju Belanda memasuki Kota Yogya. Hal ini memberikan peluang pada pemerintah RI mengadakan sidang darurat dan pada Pak Dirman masih sempat untuk bersama Ibu masuk keraton, termasuk membakar dokumen-dokumen yang penting.

Menuju Parangtritis
Mula-mula saya coba membawa Pak Dirman ke luar kota melalui Alun-alun Kidul (Kandang Gajah), tetapi tiba-tiba di depan Istana Tamansari salah seorang “sekko” (pengintai depan yang mengamati situasi di depan dan sekelilingnya) memberitahukan dan menyarankan agar rombongan mengambil jalan Selatan dan menghindari Alun-alun Kidul, karena kurang pasti keamanannya. Tidak lama kemudian kita bertemu dengan Letkol Soeadi yang menyampaikan berita yang sama, bahwa pasukan Belanda sudah masuk kota sampai di daerah Pakualaman. Setelah menerima berita itu, saya segera mengubah arah rombongan Pak Dirman yang berkendaraan mobil untuk menuju Pojok Beteng, ke arah Tejokusuman dan terus menyusuri pantai Parangtritis. Daerah Parangtritis dan Bantul ini tidak asing lagi bagi saya karena ketika paman saya menjabat sebagai Bupati bantul, saya sering singgah dan main-main pada hari libur sewaktu masih bersekolah di Yogya. Terlintas dalam pikiran saya, jika perlu Pak Dirman dapat berlindung dalam salah satu goa yang banyak terdapat di sekitar Parangtritis. Saya yakin Belanda tidak mungkin bisa menemukannya di situ. Akan tetapi tempat itu terlampau terjal dan sulit dicapai, sehingga rencana itu saya batalkan. Kecuali itu rencana Pak Dirman ke posko (Pos Komando) yang baru di Jawa Timur, harus tetap dapat saya laksanakan sesuai rencana. Sesungguhnya bagi pak Dirman masih ada jalan yang terbuka menuju ke Timur melalui Kota Gede, namun jalan ini tidak saya tempuh karena saya kurang mengenal daerah ini. Sedangkan pasukan Djoemadi tetap saya perintahkan untuk mengambil jalan ini menuju ke timur.

Dalam perjalanan ke luar Yogya menuju Bantul, terpaksa saya harus duduk di atas spadbord mobil yang dipakai Pak Dirman supaya lebih leluasa melihat keluar dan sekelilingnya. Nyatanya masih terlihat juga pesawat terbang Belanda yang tampaknya masih memusatkan perhatiannya pada sasaran-sasaran di sekitar kota Yogya.

Rombongan bergerak perlahan-lahan menuju ke Selatan. Serangan-serangan udara mengharuskan kita beberapa kali berlindung dan memperlambat perjalanan sehingga baru jam 17.00 BBWI rombongan sampai di Kretek, yang jaraknya hanya kurang lebih 20 km sebelah Selatan Yogya. Di tempat ini rombongan istirahat dan merasa lega setelah mengetahui hasil dari pemeriksaan Dr. Soewondo bahwa kondisi Pak Dirman masih tetap stabil.

Dalam rombongan Pak Dirman terdapat antara lain seorang penasehat politik yaitu Harsono tjokroaminoto, selain Dr. Soewondo, ajudan Kapten Soepardjo, Letnan muda Laut Heru Kesser, Vaandrig Kadet Utoyo Kolopaking, Hanum Faeni (ipar Pak Dirman), Kopral aceng dan sejumlah pengawal; sedangkan Letnan Dua Basuki baru menyusul kemudian. Sekitar jam 18.00 BBWI Hanum Faeni dipanggil Pak Dirman supaya bersama seorang lagi (Kopral Aceng) kembali ke Yogya untuk meminta perhiasan dari Ibu Soedirman berupa apa saja, sebagai bekal perang. Betapa besarnya pengorbanan keluarga Pak Dirman yang mempergunakan perhiasan milik pribadi “Ibu Dirman” dan juga dari Ibu Sastroatmojo (Ibu mertua Pak Dirman) sebagai bekal dalam perang gerilya melawan Belanda.

Ketika rombongan berada di Kecamatan Kretek, Letnan Dua Basuki yang baru keluar dari Yogya dan bergabung dengan rombongan, langsung melapor kepada Pak Dirman bahwa Bung Karno, Bung Hatta dan beberapa menteri dan komodor Suryadharma, serta pejabat tinggi lainnya batal ke luar kota dan akhirnya dapat ditawan oleh Belanda. Walaupun kelihatannya Pak Dirman sudah tahu kalau Bung Karno dan Bung Hatta tidak jadi ke luar kota dan memimpin gerilya, Pak Dirman tidak memberikan tanggapan dan reaksi apapun. Padahal sebenarnya sesuai dengan keputusan “Dewan Siasat” telah disiapkan satu rencana dari TNI untuk membawa Bung karno dan Bung Hatta dan seluruh pemimpin pemerintahan pergi menyingkir ke luar Kota Yogya. Seperti yang diutarakan oleh Kolonel Zulkifli Lubis TK-I MBKD (Markas Besar Komando Djawa), dulu pernah menjabat sebagai pemimpin PMC (Penyelidik Militer Chusus). Dalam rencana tersebut, Koesno Wibowo akan bertindak sebagai pelaksana, dan I kompie Soesatio sebagai pengawal yang diperkuat oleh Mayor Sakri Soenarto.

Sesaat sebelum Bung Karno dan Bung Hatta ditawan, pemerintah RI telah melimpahkan kekuasaannya kepada Menteri Syafruddin Prawiranegara sebagai pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Walaupun radiogram tersebut oleh sesuatu hal mungkin karena sarana komunikasi yang tidak memadai, nyatanya tidak pernah diterima oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara. Beliau merasa secara formal tidak ada pelimpahan tersebut dan oleh karenanya ia keberatan menerimanya, bahkan enggan.

Sesungguhnya radiogram resmi tersebut hanyalah konfirmasi, sebab mengenai soal pelimpahan kepada beliau telah ditetapkan sebelumnya dan juga telah diberitahukan oleh pimpinan RI (Bung Karno-Bung Hatta) sewaktu ia berada di Yogya. Barulah setelah ditekan oleh Kolonel Hidayat. Panglima Teritorial Sumatera bersama ajudannya. Kapten Islam Salim dan T.M. Hasan (kemudian menjadi menteri RI), barulah ia mau mengemban tugasnya. Belanda mengumumkan pada tanggal 19-12-1948 bahwa Bung Karno dan Bung Hatta telah ditawan. Berarti kedua pemimpin RI tersebut sudah tidak dapat menjalankan tugasnya dan dengan sendirinya Menteri Syafruddin Prawiranegara harus menjalankan tugasnya tanpa ragu-ragu.

Di dalam radiogram disebutkan bahwa jika Menteri Syafruddin tidak dapat menjalankan tugasnya, pimpinan Negara diserahkan kepada Duta Besar RI di India, Dr. Soedarsono, dengan dibantu oleh L.N. Palar. Karena pelimpahan kekuasaan terjadi sebelum Belanda menawan pimpinan negara, sesungguhnya secara yuridis, yang ditawan bukan Presiden dan Wakil Presiden melainkan pribadi Bung karno dan Bung Hatta. Pandangan politik ini berubah dari rencana yaitu rencana yang diputuskan dalam Dewan Siasat agar pimpinan militer dan sipil keluar kota untuk bergerilya. Dalam sidang kabinet baru diputuskan, Bung Karno dan Bung Hatta tetap berada di dalam kota. Keputusan kabinet ini kemungkinan telah disampaikan oleh Bung Karno kepada pak Dirman sebelum sidang kabinet dimulai.

Jadi, tidak salahlah kalau banyak orang tidak tahu atau tidak mau tahu mengenai perubahan politik pemerintah RI ini. Mereka berpandangan negatif terhadap pimpinan-pimpinan pemerintah yang dengan begitu saja mudah dapat ditawan oleh Belanda. Mereka menjadi kecewa dan mempunyai penilaian yang kurang baik terhadap pemimpin-pemimpin pemerintah saat itu karena para pemimpin sebelumnya telah berjanji akan ke luar kota, secara terbuka dan berapi-api didalam pidato-pidato mereka di mana-mana serta disiarkan melalui RRI. Mengenai ditawannya Presiden dan Wakil Presiden serta pejabat tinggi lainnya pada tanggal 19 Desember 1948, menurut Kolonel Zulkifli Lubis sebenarnya tidak perlu terjadi apabila dilihat dari persiapan yang telah dilakukan jauh sebelum Belanda mengadakan Aksi Militer Kedua. Sudah ada keputusan bagi seluruh pejabat tinggi negara untuk ke luar kota dan bergerilya, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, seandainya Belanda menduduki Yogya. Selanjutnya dikatakan Kolonel Zulkifli Lubis bahwa tempat-tempat untuk berlindung sudah disampaikan kepada Presiden. Persiapan termasuk pula soal transportasi untuk mencapai lokasi tersebut. Mengenai masalah ini Bp. Zulkifli menceritakan :

“Sayalah yang ditugaskan dari MBT (Markas Besar Tentara) untuk mempersiapkan tempat yang aman bagi Presiden dan Wakil Presiden apabila terjadi serangan mendadak. Jadi tempat yang aman dari segi lokasi dimana Belanda tidak mudah dapat masuk daerah itu. Daerah yang penduduknya dapat dipercaya dalam menjaga rahasia. Tempatnya itu di sebelah Selatan Wonosari. Waktu itu saya dibantu oleh saudara Mayjen Sapardjo (mantan menteri sosial RI). Dia punya mertua seorang wedana di Wonosari. Dan lokasinya itu bisa untuk berhubungan ke dunia luar, komando-komando dan ke dalam kota Yogya. Pak Koesno Wibowo di Yogyakarta waktu itu juga sudah mempersiapkan beberapa andong (kereta beroda empat yang ditarik oleh kuda) kalau tidak salah sebanyak 17 kereta andong. Lewat Koesno saya kirim surat ke Pak Simatupang untuk persiapan pengungsiannya. Tetapi pada tanggal 19 Desember itu Pak Sim (sebutan T.B. Simatupang) kembali kirim surat kepada saya yang isinya antara lain orang-orang sipil tetap di dalam kota. Saya kecewa terhadap keputusan ini, karena sebelumnya sudah ada konsensus antara sipil-militer untuk keluar kota dan bersama-sama tetap melawan Belanda secara bergerilya, bukan lagi perang linier. Jadi itu sudah melanggar ketentuan tersebut, bahwa pimpinan sipil tidak ikut keluar kota Yogya. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak keluar, sebab sudah dipersiapkan dengan baik”.

Pernyataan Zulkifli Lubis tersebut, sekaligus bisa menjawab dan atau menyangkal sementara tulisan yang mengatakan, tidak ada rencana dan persiapan dari pihak TNI untuk membawa Bung Karno dan Bung Hatta serta pejabat tinggi lainnya ke luar Kota Yogya pada tanggal 19 desember 1948. Seolah-olah tidak ada persiapan sama sekali dari TNI guna menjamin keselamatan pimpinan Negara. Alasan mengubah keputusan membiarkan diri untuk ditawan Belanda oleh para pimpinan-pimpinan kita di Yogya, kiranya lebih menekankan pada bidang politik yaitu perhitungan dengan kenyataan bahwa dengan kenyataan bahwa Komisi Tiga Negara sebagai Wakil PBB masih berada di Kaliurang.

Bagaimanapun juga pasti akan ada reaksi dari dunia luar terhadap penyerbuan Belanda ke Yogya. Perubahan politik adalah hak dari Presiden dan kabinet walaupun mengecewakan mereka-mereka yang berjuang ke luar kota. Sesungguhnya kalau ada cerita-cerita mengenai pengawalan Bung Karno dan Bung Hatta yang bisa dijalankan dengan satu atau dua Batalyon itu, adalah tidak masuk akal dan sia-sia belaka, karena TNI meninggalkan sistem perang linier setelah melihat senjata keunggulan Belanda di udara dan senjata-senjata lengkung (meriem, mortir dan lain-lain), serta kendaraan lapis baja. Satu-satunya jalan adalah menjalankan keputusan-keputusan sebelumnya, yaitu ke luar kota dengan pasukan-pasukan kecil dan melaksanakan taktik perang gerilya.

Sebenarnya perang dengan sistem linier dengan kekuatan suatu pasukan yang besar, sama saja artinya dengan mengorbankan anak buah pasukan-pasukan tersebut, karena tembakan udara dan senjata lengkung Belanda akan mudah menghancurkan pasukan-pasukan yang bertahan secara linier. Belanda secara yakin dan amat tergesa-gesa tanpa melakukan pengecekan terlebih dahulu atas hasil serbuan mereka, telah menyiarkan lewat radio dan juga menyebar pamflet-pamflet yang dijatuhkan dari pesawat udara, yang isinya menyebutkan “Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta serta pejabat tinggi lainnya, terutama Jenderal Soedirman, sudah berhasil ditawan, dalam tindakan yang dikatakan sebagai hasil dari aksi Polisionilnya yang ke dua”. Berita ikut ditawannya Panglima Besar Soedirman tentu saja kabar yang mengejutkan dan menyedihkan semua orang karena Pak Dirman bersama TNI-nya adalah benteng terakhir republik, dan satu-satunya harapan rakyat. Ternyata Belanda menyiarkan berita isapan jempol, karena sebenarnya Panglima sudah berangkat ke luar kota walaupun sedang dalam keadaan sakit keras. Belanda mengetahui bahwa Panglima Besar Soedirman sedang menderita sakit dan baru saja dioperasi, tentulah menurut perhitungan Belanda itu, masalah Panglima Besar TNI Soedirman hanya tinggal “dicomot” dari tempat tidurnya.

Tamatlah perjuangan republik !.
Menurut perhitungan mereka dengan alasan inilah Belanda meremehkan dan secara terburu-buru menyiarkan bahwa Pak Dirman telah berhasil ditangkap dan kemudian ditawan.

Berita bahwa Pak Dirman telah turut tertawan, terbantulah ketika tersiar sebuah berita yang kemudian bergema dan berkumandang dari gunung, lembah ke lembah, dari desa ke desa dan meluas ke kota-kota ke segala penjuru Nusantara; yaitu dengan disiarkannya Perintah Kilat siaran RRI.

“Pak Dirman ada di tengah-tengah kita!
Pak Dirman mimpin kita!
Hidup Pak Dirman”!

(Kiprah nyata perjuangan Pak Dirman ini pernah dimuat oleh Majalah Baret Merah Edisi Agustus 1997)
Dispenad
More aboutPerang Kemerdekaan II : Penyerbuan ke Yogyakarta

Kelembutan dan Kasih Sayang Dibalik Ketegasan Prajurit

Posted by ReTRo on Thursday, November 15, 2012

Anak-anak asyik bermain kelereng dengan personel Paskhas 462.
(Foto majalahpotretindonesia)
SIKAP perilaku tegas, disiplin dan tidak kenal menyerah yang merupakan doktrin bagi setiap prajurit, dan menjadikannya sebagai ciri khas dan standar kepribadian seorang prajurit dalam setiap tarikan nafas kehidupannya, tanpa batas waktu harus tetap terbina dan terjaga dengan baik.

Dan sebagai bagian dari warga Negara Indonesia yang terpilih, terdidik dan terlatih, seorang prajurit adalah dipersiapkan untuk berada dibarisan paling depan dalam mengawal dan menjaga kedaulatan Negara Republik Indonesia tercinta bersama komponen bangsa yang lain, dari berbagai bentuk ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri.

Sehingga sekecil apapun tugas yang diemban bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan namun berorientasi pada kepentingan bangsa dan Negara yang harus dilakasanakan dengan penuh rasa tanggung-jawab hingga berhasil dan tuntas.

Seorang prajurit apapun tingkatannya, bukanlah seperti yang selama ini dipahami oleh sebagian masyarakat, yaitu sebagai sebuah robot bernyawa. Prajurit yang konotasinya sebagai seorang manusia yang dilatih, dididik, didoktrin dan dipersenjatai, semua kegiatan operasi yang dilaksanakan adalah untuk kepentingan bangsa dan Negara, dan pelaksanaan dilapangan berdasarkan dari jalur komando pimpinan atas yang sudah terencana dan terprogram.

Salah satu fakta membuktikan, berbagai kendala di lapangan harus dihadapi oleh Komandan Lanud (Danlanud) Palembang, Letkol PNB Adam Suharto dan Batalyon 462 Paskhas dalam upaya melaksanakan program kedepan menjadikan Lanud Palembang sebagai Pangkalan Utama penyangga keamanan ibukota Negara.   Namun demikian, berbagai kendala yang muncul tersebut selalu dihadapi dengan kesabaran dan kejernihan pikiran untuk mendapatkan solusi penyelesaian secara aman, damai, tegas dan proporsional.

Seperti yang dilakukan oleh personel Paskhas, untuk menghibur masyarakat baik orang tua, dewasa maupun anak-anak yang tinggal di salah satu wilayah sengketa, selain melaksanakan tugas pengamanan asset, prajurit Paskhas 462 yang tergabung dalam kopel musik ketipung suling baret jingga asuhan Kapten PSK Wisnu Budi Santoso beraksi dengan mendendangkan lagu-lagu kesukaan warga dan beberapa personel juga sempat bercanda sembari bermain kelereng dengan anak-anak warga masyarakat setempat, Selasa (30/10).
© Majalah Potret Indonesia
More aboutKelembutan dan Kasih Sayang Dibalik Ketegasan Prajurit

Taktik Pemuda Hindari Belanda Saat Kongres

Posted by ReTRo on Wednesday, November 14, 2012

Taktik Pemuda Hindari Belanda Saat KongresDiorama di Museum Sumpah Pemuda, Jln. Kramat Raya, Jakarta, Museum inilah yang dahulu digunakan para pemuda untuk berjuang melawan penjajahan dan dari tempat ini pula lahirlah Sumpah Pemuda pada 28-10, 1928 TEMPO/Subekti.

PADA zaman penjajahan Belanda, tak mudah bagi para pemuda untuk bertemu, apalagi dalam bentuk kongres. Namun tampaknya kesulitan itu tak berlaku bagi Mohammad Tabrani Soerjowitjitro.

Tokoh pemuda asal Pamekasan, Madura yang lahir pada 10 Oktober 1904 ini punya siasat supaya kongres pemuda tak ketahuan kompeni. Mengutip laporan khusus Majalah Tempo edisi 2 November 2008, untuk 'mengelabui' pemerintah Belanda, saat itu ia melakukan sejumlah trik kala kongres.

Caranya, beberapa orang sengaja ia perintahkan mengobrol dengan kepala polisi rahasia dan sejumlah pejabat Belanda yang hadir. Tujuannya, agar mereka tak sempat menyimak pidato peserta kongres. Padahal, Kongres Pemuda Pertama pada 30 April - 2 Mei 1926 itu berjalan dengan menggunakan bahasa Belanda.


Kongres Pemuda Pertama yang diketuai Tabrani bertujuan 'menggugah semangat kerja sama di antara bermacam-macam organisasi pemuda di tanah air kita, supaya dapat diwujudkan dasar pokok lahirnya persatuan Indonesia, di tengah-tengah bangsa di dunia'.

Dalam kongres tersebut, salah seorang panitia kongres, Bahder Djohan menyampaikan materi tentang 'kedudukan wanita dalam masyarakat Indonesia'. Sayangnya, lantaran terlambat datang dari Bandung, 'pidato' Bahder akhirnya dibacakan Sekretaris Kongres Pemuda Pertama, Djamaludin.

Panitia kongres lainnya, Paul Pinontoan mengulas tentang peranan agama dalam gerakan nasional. Adapun tokoh pemuda Muhammad Yamin membahas soal 'masa depan bahasa-bahasa Indonesia dan kesusastraannya'.
© Tempo
More aboutTaktik Pemuda Hindari Belanda Saat Kongres

Integrated Maritime Surveillance System sepanjang Sabang - Merauke

Posted by ReTRo

Lanal Batam Tempatkan Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) dari Sabang Hingga Batam
Pemantauan perairan wilayah dengan IMSS
(Foto Infoglobal/tendef)
Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Batam mengakui penempatan 12 unit radar sistem pengawasan maritim atau Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) buatan Amerika Serikat dari Sabang hingga Batam, Kepulauan Riau, sangat efektif untuk mengamankan kawasan perairan Selat Malaka. 

"Pengawasan bisa memantau hal terkecil yang berada di kapal. Radar ini terintegrasi ke gugus keamanan laut (Guskamla), dimana bisa melihat seluruh kapal yang melintas di Selat Malaka," kata Komandan Pangkalan Angkatan Laut (Danlanal) Batam, Kolonel Laut Nurhidayat, saat menerima rombongan wartawan dan Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan (Kemhan), di Lanal Batam, Kepulauan Riau, Selasa (9/10).

Kata dia, penggunaan radar sistem pengawasan maritim tersebut dioperasikan hanya pada malam hari karena pada siang hari kapal-kapal yang melintas masih dapat dipantau oleh patroli keamanan laut (Patkamla). "Malam hari itu kan yang susah memantau sebetulnya. Sebelum ada radar itu, kita kesulitan memantau kapal-kapal yang melintas. Apalagi kapal yang bergerak dalam kecepatan rendah di malam hari, semakin sulit untuk dideteksi. Nah dengan adanya keberadaan IMMS itu kita bisa memantau kapal-kapal meski dari jarak kejauhan dan suasana gelap," ujarnya.

Ia menambahkan, radar tersebut akan menjadi sangat efektif membantu pengawasan laut mengingat jumlah personel yang ada di Lanal Batam kurang memadai. "Jumlah personel yang ada hanya 143 orang, padahal seharusnya jumlah personelnya mencapai 256 orang," katanya.

Tak hanya itu, lanjut dia jumlah kapal yang dimiliki oleh Lanal Batam hanya 12 unit, dari 18 unit yang dibutuhkan di tiap tiap pos penjagaan, sehingga dengan adanya Radar tersebut sangat membantu pemantauan. 


© Tandef
More aboutIntegrated Maritime Surveillance System sepanjang Sabang - Merauke

☆ Kisah Jenderal Besar Soedirman

Posted by ReTRo on Tuesday, November 13, 2012

 Soedirman, Bapak Tentara dari Banyumas 

Jakarta - Ia mungkin telah jadi ikon: sepotong jalan utama dan sebuah universitas negeri telah menggunakan namanya. Raut lelaki tirus itu pernah tertera pada sehelai uang kertas.

Di Jakarta, tubuhnya yang ringkih diabadikan dalam bentuk patung setinggi 6,5 meter di atas penyangga 5,5 meter. Menghadap utara, dibalut jas yang kedodoran, ia memberi hormat--entah kepada siapa.

Barangkali, hanya sedikit cerita yang kita ingat dari Soedirman--sejumput kenangan dari buku sejarah sekolah menengah. Ia panglima tentara yang pertama, orang yang keras hati. Ia pernah bergerilya dalam gering yang akut--tuberkulosis menggerogoti paru-parunya.

Sejak ia remaja, orang segan kepadanya: karena alim, dia dijuluki kaji. Ia aktif dalam gerakan Hizbul Wathan--kepanduan di bawah payung Muhammadiyah.

Dipilih melalui pemungutan suara sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat/Angkatan Perang Republik Indonesia pada 12 November 1945, Soedirman figur yang sulit dilewatkan begitu saja. Ia mungkin sudah ditakdirkan memimpin tentara.

Dengan banyak pengalaman, tak sulit baginya terpilih sebagai panglima dalam tiga tahap pengumpulan suara. Dia menyisihkan calon-calon lain, termasuk Oerip Soemohardjo--kandidat lain yang mengenyam pendidikan militer Belanda.

 Kisah Seorang Perokok Berat 

Soedirman adalah seorang perokok kelas berat. Ia merokok sejak remaja. Rokok kreteknya tak bermerek, tingwe alias nglinthing dewe artinya meramu sendiri. Sepulang bergerilya, kondisi kesehatan Soedirman memburuk. Ia masuk Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.

Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman, ingat cerita ibunya, Siti Alfiah, bagaimana saat sakit bapaknya tetap ingin merokok.

"Bapak dipaksa berhenti merokok oleh dokter. Karena perokok berat, Bapak tak bisa benar-benar meninggalkan rokok. Bapak meminta Ibu merokok dan meniupkan asap ke mukanya."

Menurut Teguh, belakangan ibunya menjadi perokok. "Barangkali terdengar konyol, tapi Ibu berprinsip menaati perintah Bapak," katanya.

Pada Ahad pagi, 29 Januari 1950, setelah lama terkulai lemas sejak Oktober di rumah peristirahatan tentara di Magelang, mendadak wajah Soedirman tampak cerah. Pagi itu, Ahmad Yani, Gatot Soebroto, serta beberapa petinggi militer dan sipil hadir. Tidak diketahui apa yang dibicarakan.

"Waktu itu, menurut Ibu, tiba-tiba terdengar suara kaleng dan botol pecah mendadak. Bersamaan dengan itu, bendera di halaman melorot setengah tiang. Sampai Ibu bilang ke beberapa pengawal, ’Ah, itu hanya angin’."

Setelah salat magrib, sebagaimana didengar dari Alfiah, Soedirman memanggil istrinya ke kamar. Di dalam, dia berkata, "Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil.” Alfiah menuntunnya mengucap Laa Ilaha Illallah, dan Soedirman mengembuskan napas terakhir. 

 Kisah Asmara di Wiworo Tomo 

Soedirman memang begitu sayang kepada istrinya. Menurut Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman, ibunya pernah bercerita bagaimana bapaknya tergolong teliti untuk urusan kosmetik dan busana. "Bapak selalu memilihkan bedak dan busana untuk Ibu. Ibu tinggal mengenakan," ujar Teguh. Bapaknya ternyata juga suka menjaga penampilan agar rapi dan berwibawa, terutama saat berpidato.

Ibunya sekali waktu bercerita, pernah saat Soedirman berpidato, ia merasa cemburu. Soedirman saat itu berpidato di hadapan putri-putri Keraton Solo. Mereka terlihat kagum pada penampilannya yang besus atau selalu rapi. Selesai pidato, Alfiah berseloroh, "Kamu senang, ya? Kalau begitu mau lagi?" Soedirman langsung menjawab, "Ya tidak, kan aku sudah punya kamu."

Kisah asmara Soedirman dan Alfiah dimulai di Perkumpulan Wiworo Tomo, Cilacap. Soedirman tersohor sebagai pemain sepak bola dan pemain tonil atau teater. Dia dijuluki Kajine karena alim. Tatkala menjadi ketua, Soedirman memilih Alfiah sebagai bendahara Perkumpulan. Salah seorang teman Soedirman, menurut Teguh, bercerita, banyak pemuda naksir kepada ibunya tapi tak berani mendekati karena segan kepada sang ayah.

Gosip Soedirman menaksir Alfiah, kata Teguh, bermula dari kebiasaan Soedirman berkunjung ke rumah Sastroatmodjo, orang tua Alfiah. Silaturahmi itu berkedok koordinasi internal Muhammadiyah. Kala itu Soedirman termasuk pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Adapun orang tua Alfiah pengurus Muhammadiyah.

Saat menjadi guru HIS Muhammadiyah, Soedirman dikenal dermawan. Gajinya kerap dipakai membantu tetangga. Tatkala menjadi anggota Badan Penyediaan Pangan, lembaga penarik upeti di bawah Jepang, Soedirman bahkan tidak memaksa warga menyetor upeti jika kekurangan.

"Nenek tahu betul Soedirman muda naksir Alfiah. Nenek merestui karena kagum pada kealimannya. Nenek membujuk Kakek mau menerima Soedirman menjadi menantu. Saat itu, usia Bapak 20 tahun, Ibu 16 tahun."

Menurut Teguh, paman ibunya yang bernama Haji Mukmin, saudagar pemilik hotel, sesungguhnya tidak setuju terhadap perkawinan Alfiah dan Soedirman. Mukmin berkeras Alfiah harus mendapatkan suami dari kalangan orang kaya. Adapun Soedirman anak ajudan wedana, yang bergaji kecil. "Akhirnya, menurut Ibu, semua ongkos pernikahan diam-diam disiapkan Nenek. Strategi itu agar Bapak tidak disepelekan keluarga besar Kakek."

Dari ibunya, Teguh mendengar, pada saat makan bersama keluarga besar, Haji Mukmin menyingkirkan hidangan paling enak dari hadapan bapaknya. Sang ibu tersinggung, tapi bapaknya memilih mengalah. Sikap Haji Mukmin berubah setelah Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar. Ketika diarak ke Cilacap, dia melihat pamannya itu berdiri di pinggir jalan. Soedirman menghentikan mobil, lalu mengajaknya masuk ke mobil.

 Soedirman dan Keris Penolak Mortir 

Desing pesawat membangunkan Desa Bajulan yang senyap, suatu hari di awal Januari 1949. Penduduk kampung di Nganjuk, Jawa Tengah, yang tengah berada di sawah, halaman, dan jalanan, itu panik masuk ke rumah atau bersembunyi ke sebalik pohonan.

Warga Nganjuk tahu itu pesawat Belanda yang sedang mencari para gerilyawan dan bisa tiba-tiba memuntahkan bom atau peluru. Tak kecuali Jirah. Perempuan 16 tahun itu gemetar di dapur seraya membayangkan gubuknya dihujani peluru.

Di rumahnya ada sembilan laki-laki asing tamu ayah angkatnya, Pak Kedah, yang ia layani makan dan minum. Meski tak paham siapa orang-orang ini, Jirah menduga mereka yang sedang dicari tentara Belanda. Sewaktu pesawat mendekat, dia melihat seorang yang memakai beskap duduk di depan pintu dikelilingi delapan lainnya. “Saya mengintip dan menguping apa yang akan terjadi dari dapur,” kata Jirah, September lalu.

Lelaki pemakai beskap yang oleh semua orang dipanggil ”Kiaine” atau Pak Kiai itu mengeluarkan keris dari pinggangnya. Keris itu ia taruh di depannya. Tangannya merapat dan mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib. Keris itu berdiri dengan ujung lancipnya menghadap ke langit-langit. Kian dekat suara pesawat, kian nyaring doa mereka.

Keris itu perlahan miring, lalu jatuh ketika bunyi pesawat menjauh. Kiaine menyarungkan keris itu lagi dan para pendoa meminta undur diri dari ruang tamu. Kepada Jirah, seorang pengawal Kiaine bercerita bahwa keris dan doa itu telah menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari penglihatan tentara Belanda.

Dari curi-dengar obrolan para tamu dengan ayahnya itu, Jirah samar-samar tahu, orang yang memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, dan pendiam dengan napas tercekat yang dipanggil Kiaine tersebut adalah Jenderal Soedirman. “Saya mendapat kepastian itu Pak Dirman justru setelah beliau meninggalkan desa ini,” ujarnya.

Waktu itu Panglima Tentara Indonesia ini sedang bergerilya melawan Belanda, yang secara resmi menginvasi kembali Indonesia untuk kedua kalinya tiga tahun setelah Proklamasi. Jirah ingat, rombongan itu--yang berjumlah 77 orang--datang ke Bajulan pada Jumat Kliwon Januari 1949. Di rumahnya, Soedirman ditemani delapan orang, antara lain Dr Moestopo, Tjokropranolo, dan Soepardjo Roestam. Yang lain menginap di rumah tetangga.

Selama lima hari di Bajulan, tak sekali pun Belanda menjatuhkan bom atau menembaki penduduk. “Itu berkat keris dan doa-doa,” kata Jirah. Soedirman seolah-olah tahu tiap kali Belanda akan datang mencarinya. Karena itu, operasi Belanda mencari buron nomor wahid tersebut selalu gagal.


 Cerita Kesaktian Soedirman 

foto
Soedirman terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Anak bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman, mendengar banyak cerita ”kesaktian” ayahnya. Teguh lahir pada 1949 ketika ibunya bersembunyi di Keraton Yogyakarta saat ayahnya bergerilya. Dia tak sempat bertemu dengan ayahnya, yang meninggal dua bulan setelah ia lahir, dan hanya mendengar kisah Soedirman dari sang ibu, Siti Alfiah.

Inilah kesaktian sang Jenderal yang merupakan perokok berat ini.

Ceritanya ketika Soedirman sampai di Gunungkidul. Ia tak mengizinkan pasukannya beristirahat lama-lama. Benar saja, beberapa saat kemudian, pasukan Belanda tiba di lokasi peristirahatan pasukannya. Jika Soedirman, yang dalam sakit bengek dan tubuh rapuh, tak segera meminta mereka jalan lagi, pertempuran tak akan bisa dihindari. "Dan bisa jadi pasukan Bapak kalah," kata Teguh.

Soedirman, yang selalu menyamar sepanjang gerilya, juga kerap diminta mengobati orang sakit. Di sebuah desa di Pacitan, Teguh bercerita, Soedirman dan pasukannya kelaparan karena tak menemukan makanan berhari-hari. Mau meminta kepada warga desa, takut ada mata-mata Belanda. Saat rombongan ini beristirahat, seorang penduduk menghampiri mereka dan meminta air mantra untuk kesembuhan istri lurah di situ.

Sang Panglima mengambil air dari sumur, lalu meniupkan doa. Ajaib, istri lurah yang terbaring payah itu bisa bangun setelah minum. Pak Lurah pun menyilakan Soedirman dan anak buahnya beristirahat. Ia menjamunya dengan pelbagai makanan. "Baru setelah itu Bapak mengenalkan diri," kata Teguh.


 Sang Jenderal Klenik 


Kepercayaan dan kegemaran Soedirman pada supranatural tak hanya terjadi saat gerilya, tapi juga dalam diplomasi formal dengan Belanda. Muhammad Roem punya kisah menarik tentang klenik Soedirman. Syahdan, suatu pagi beberapa hari menjelang perundingan Renville di Yogyakarta pada 17 Januari 1948, Roem dipanggil Presiden Sukarno.

Presiden meminta Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan itu menemui Soedirman di rumahnya. "Sebagai ketua delegasi, jiwa Saudara harus diperkuat," kata Presiden. "Temuilah segera Panglima Soedirman." Meski awalnya menolak, Roem, yang tak mengerti urusan klenik, menuruti saran itu.

Di rumahnya, Soedirman sudah menunggu. Sang Panglima ditemani seorang anak muda yang ia kenalkan kepada Roem sebagai "orang pintar". Rupanya, anak muda yang dikenal Roem tak punya pekerjaan tetap itu yang akan "memperkuat jiwa" Menteri Dalam Negeri ini. Dukun itu kemudian memberinya secarik kertas. "Jimat ini tak boleh terpisah dari Saudara," kata Soedirman. "Kalau hilang, kekuatannya bisa berbalik. Jagalah sebaik-baiknya."

Jimat itu menemani Roem menghadapi delegasi Belanda yang keras kepala tak mau hengkang dari Indonesia. Seorang diplomat Amerika Serikat yang jadi penengah rundingan itu memuji Roem dan delegasi Indonesia. "Saya sudah kesal karena Belanda begitu legalistik, tapi kalian bisa melawannya dengan legalistik juga. You are wonderful," katanya, seperti ditulis Roem dalam Jimat Diplomat. Roem, lulusan Rechts School (Sekolah Hukum) di Jakarta, hanya mesem sambil meraba jimat itu di saku celananya.

Akan tetapi, cerita paling absurd yang pernah didengar anak bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman, adalah kisah seorang santri dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kepadanya, santri itu menceritakan kisah gurunya yang ikut bergerilya bersama Soedirman. Dalam sebuah pertempuran sengit, menurut santri itu, Soedirman menjatuhkan pesawat Belanda dengan meniupkan bubuk merica. Teguh berkomentar, "Gila, ini tak masuk nalar."

 Soedirman Penganut Kejawen Sumarah 



Soedirman terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Jenderal dari Banyumas dan percaya klenik ini dikabarkan memiliki bermacam kesaktian.

Soedirman disebut sebagai penganut aliran kejawen Sumarah. Ia gemar mengoleksi keris. Ia juga percaya benda pusaka itu punya tuah yang bisa melindunginya.

Anak bungsu Soedirman, Mohamad Teguh Sudirman, bercerita sewaktu ayahnya terpojok di lereng Gunung Wilis, Tulungagung, keris ayahnya bisa menyelamatkan pasukannya. Padahal ketika itu tentara gerilyawan tak punya celah meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda.

Soedirman tiba-tiba mencabut cundrik, keris kecil pemberian seorang kiai di Pacitan, dan mengarahkannya ke langit. Tak berapa lama, awan hitam bergulung-gulung, petir dan angin menghantam-hantam. Hujan lebat pun turun dan membuyarkan kesolidan pengepungan Belanda. Lagi-lagi pasukan Soedirman selamat.

Cundrik itu ia tinggalkan di rumah penduduk. Beberapa tahun setelah Soedirman meninggal pada 1950, Panglima Kodam V Brawijaya Kolonel Sarbini datang ke rumahnya di Kota Baru, Yogyakarta, ditemani seorang petani.

Menurut Teguh, Sarbini bercerita kepada ibunya, Siti Alfiah, petani itu hendak mengembalikan cundrik Soedirman yang dititipkan kepadanya sewaktu gerilya. "Cundrik itu kami titipkan di Museum Soedirman di Bintaran Timur, Yogya," ujar Teguh. "Tapi sekarang hilang.

 Bintang Lapangan Sepak Bola 


Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24 Januari 1916. Seorang bayi lahir di Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Purbalingga. Ia lahir dari rahim Siyem, wanita asal Purwokerto, istri Karsid Kartoworidji, seorang pekerja pabrik gula.

Seperti ditulis Majalah Tempo Senin 12 November 2012, bayi laki-laki itu diberi nama Soedirman. Nama itu diberikan ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang, Purbalingga. Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo dan Toeridowati.

Soedirman memasuki masa sekolah pada 1923. Kala itu, berkat status Raden Tjokrosoenarjo yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa memperoleh pendidikan formal di Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) pada usia tujuh tahun.

Di sekolah inilah bintang Soedirman mulai bersinar terang. Salah satunya lewat olahraga kegemarannya: sepak bola. Menurut Teguh, saking piawainya memainkan si kulit bundar, Soedirman, yang biasa berposisi sebagai penyerang dijuluki si bintang lapangan.

Pria 62 tahun itu mengatakan ayahnya juga menguasai betul aturan dan tata cara permainan bola sepak. Lantaran dikenal sebagai sosok yang jujur, Soedirman kemudian kerap didaulat menjadi wasit. "Kebiasaan sepak bola ini terbawa terus sampai Bapak remaja menuju dewasa," kata Teguh.

 Di Sekolah, Jenderal Soedirman Dijuluki Kaji 


Soedirman memasuki masa sekolah pada 1923. Kala itu, berkat status Raden Tjokrosoenarjo, ayah angkatnya yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa memperoleh pendidikan formal di Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) pada usia tujuh tahun. Di sekolah milik pemerintah ini, ia dikenal sebagai murid yang sangat rajin, berdisiplin, dan pandai.

Seperti ditulis Majalah Tempo Senin 12 November 2012, Soedirman dikenal sebagai sosok yang tak segan membantu teman-temannya dalam hal apa pun, termasuk pelajaran. Ia sangat antusias mengikuti pelajaran bahasa Inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah kebangsaan, dan agama Islam. "Saking tekunnya pada pelajaran agama, Soedirman diberi julukan Kaji atau Haji," ujar sejarawan Rushdy Hoesein.

Cara bergaul ayahnya pun luwes, kata anak bungsunya, Mohammad Teguh. Dia bisa memastikan hal itu berdasarkan cerita ibunya. Soedirman bisa berkawan dan menempatkan diri di antara senior ataupun juniornya. "Bapak biasa berada di tengah banyak orang. Soalnya Bapak sangat piawai berpidato," ujarnya. Terutama saat ayahnya getol mengurus organisasi intrasekolah Putra-Putri Wiworotomo.

Soedirman lulus HIS pada 1930. Ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara dengan sekolah menengah pertama) Parama Wiworotomo, Cilacap, dua tahun setelahnya dan lulus pada 1935.

Bersekolah di MULO merupakan tahapan penting bagi Soedirman. Di sekolah itulah ia mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif di organisasi Boedi Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono, lulusan Akademi Militer Breda di Belanda.


 Begini Asal-usul Keluarga Jenderal Soedirman 

Soedirman lahir pada Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Soedirman diurus dan tinggal di rumah asisten wedana di Rembang, Raden Tjokrosoenarjo dan istri Toeridowati.

Seperti dimuat Majalah Tempo Senin, 12 November 2012, data Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia menyebutkan, istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih di dalam kandungan, Tjokrosoenarjo sudah meminta izin Siyem agar kelak bisa merawat kemenakannya itu.


Setelah Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya. Berbekal duit pensiun 62,35 gulden, ia memboyong keluarganya, termasuk Soedirman dan orang tuanya, pindah ke sebuah rumah sederhana di Kampung Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja, sebelah selatan pusat Kota Cilacap, Jawa Tengah. "Jadi, Bapak cuma numpang lahir di Purbalingga, lalu kehidupannya berlanjut di Cilacap," kata Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, anak bungsu Soedirman, saat ditemui Tempo awal Oktober lalu.

Teguh bercerita, selama ini banyak buku dan literatur digital di dunia maya menulis ngawur soal asal-usul keluarganya. Dari sekian banyak buku tentang ayahnya, Teguh hanya percaya pada buku berjudul Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer karya wartawan senior Julius Pour terbitan 2005.

"Walau bukan buku biografi Bapak, ceritanya cocok semua dengan cerita Ibu," ujar bungsu dari sembilan putra-putri pasangan Soedirman dan Siti Alfiah itu.

Soal asal-usul keluarga sang Panglima Besar, Teguh mengatakan, berdasarkan pernyataan keluarga, Soedirman merupakan anak kandung Tjokrosoenarjo, Asisten Wedana Rembang, bukan anak angkat seperti yang selama ini tertulis di berbagai buku sejarah. "Belum ada satu pun buku yang menulis soal ini (versi keluarga)," katanya.

Tjokrosoenarjo wafat saat Soedirman masih menempuh sekolah guru di Cilacap pada sekitar 1936. Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak tunggalnya itu.

Siti Alfiah, istri Soedirman, beberapa kali berusaha meluruskan soal data sejarah ini, tapi selalu kandas. Janda Soedirman itu pernah berupaya meluruskannya pada 1960-1970-an. Namun, pihak Pusat Sejarah ABRI kala itu malah mengesahkan secara resmi sejarah orang tua Soedirman yang masih kontroversial tersebut lewat pengadilan. "Tapi aneh karena tak ada satu pun anggota keluarga yang diundang," ujar Teguh.

Bagi Teguh, ibundanya adalah satu-satunya orang yang tahu persis soal riwayat sang Jenderal Besar. Sebab, semua dokumen yang berkaitan dengan Soedirman telah dilenyapkan demi kepentingan keamanan sebelum ia berangkat bergerilya.

Menurut Teguh, sejarawan Anhar Gonggong pernah memberinya saran agar ia menuliskan semua riwayat Soedirman dari sudut pandang dan pengakuan keluarga. Namun, hingga kini dia belum pernah mencoba melaksanakan saran Anhar itu.

"Yang jelas, Bapak itu pahlawan nasional. Jasanya banyak, perlu jadi teladan bangsa ini. Itu saja cukup," ucap Teguh.


 Bekas Kamar Jenderal Sudirman Bertarif Rp 5 Juta 

Yogyakarta - Sebuah kamar di Hotel Inna Garuda, Jalan Malioboro, Yogyakarta, pernah ditempati Panglima Besar Jenderal Sudirman sebagai kantor sekaligus kamar tidur. Anda tertarik menginap di kamar Jenderal Sudirman? Bisa, Anda hanya perlu mengeluarkan Rp 5 juta per malam untuk tidur di kamar 291 itu.

“Kami menjual nilai sejarah kamar yang pernah digunakan sebagai kantor dan kamar Pak Dirman,” kata Ayub Khan, juru bicara Hotel Inna Garuda, Yogyakarta, Rabu 29 Juni 2011. Menurut Ayub, kamar dengan kelas suite room itu tiap bulan tak pernah sepi penghuni.

Kamar Sudirman ini tertata rapi layaknya kamar hotel berbintang lima. Meski pernah dihuni Pak Dirman, tidak semua perangkat di kamar ini asli. Ada sebagian yang sudah diganti karena termakan usia. Ada beberapa benda peninggalan Sudirman yang masih tersimpan di kamar tersebut, seperti foto Sudirman ketika masih memimpin perang gerilya melawan penjajah Belanda.

Adapun barang peninggalan Sudirman seperti patung, baju, pusaka, hingga tempat tidur kuno yang masih ada kelambu sebagai pemberian istri mendiang Sudirman tidak ditempatkan di kamar itu. Alasannya, tamu banyak yang takut jika benda-benda kuno dipasang di kamar itu. “Kami simpan di tempat lain di hotel,” kata dia.

Kebanyakan para tamu yang menyewa kamar itu adalah kalangan pejabat negara, wisatawan lokal, maupun mancanegara yang sangat berminat terhadap wisata sejarah.

Sebelum kemerdekaan masa penjajahan Belanda, hotel ini bernama Grand Hotel. Kemudian pada masa penjajahan Jepang, hotel ini berganti nama Hotel Asahi. Kemudian pada zaman kemerdekaan, hotel ini berganti nama menjadi Hotel Merdeka dan akhirnya menjadi Hotel Inna Garuda.

Walikota Yogyakarta Herry Zudianto mengusulkan kepada pengelola hotel untuk mengembalikan ruang perkantoran dan tempat tinggal Jenderal Sudirman itu seperti zaman dahulu. Pasalnya, kamar itu juga merupakan ikon sejarah perjuangan melawan penjajah Belanda.

“Akan lebih bagus dan menarik jika kamar itu dikembalikan seperti tempo dahulu. Penataan ruangannya dibuat sama seperti saat Jenderal Sudirman berkantor di sini,” kata Herry.

TIM TEMPO

© Tempo.Co
More about☆ Kisah Jenderal Besar Soedirman